STRET

Jumat, 07 Agustus 2020

PERJANJIAN NEW YORK 15 AGUSTUS 1962 MERUPAKAN KONSPIRASI POLITIK INTERNASIONAL


PERJANJIAN NEW YORK 15 AGUSTUS 1962 MERUPAKAN KONSPIRASI POLITIK INTERNASIONAL 


Oleh Dr. Socratez S.Yoman 


"Suatu bangsa yang tidak lagi tahu itu JUJUR akan hancur" ( Prof. Dr. Franz Magnis, 2015: hal.17). 

"Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.”(Prof. Dr. Franz

Magnes).

KETIDAK-JUJUR-AN yang menyebabkan LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia itu sudah dimulai sejak dibuat dan penanda tanganan Perjanjian New Yok 1962 yang tidak melibatkan Penduduk Orang Asli Papua (POAP) yang mempunyai hak atas Tanah dan Negeri leluhur mereka. Yang membuat Perjanjian New York (PNY) adalah tiga bangsa yang sama-sama bangsa kolonial yaitu Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia. 

Ada empat tujuan Perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962.

1. Untuk mengakhiri pertengkaran antara pemerintah Belanda dengan Indonesia tentang status politik dan masa depan rakyat dan bangsa Papua Barat. 

Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (The Haque) Nen pada 27 Desember 1949, Belanda tidak masukkan hak politik Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia

"Belanda memutuskan untuk tidak menyerahkan kedaulatan Papua Barat ke dalam Republik Indonesia" dan Drs. Mohammad Hatta menegaskan: "Secara pribadi ingin saya nyatakan bahwa bagi saya masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan. Saya tahu bahwa Bangsa Papua pun berhak menjadi bangsa yang merdeka." (Sumber: BPUPKI & PPKI, Ed. 4, 1998).

2. Kepentingan membendung perkembangan komunisme di kawasan Asia Pasifik

Cipta Lesmana, Pengamat Politik, mengatakan:

"Pemerintah Kennedy semula menentang mati-matian pengembalian Papua Barat ke pangkuan RI. Soekarno kemudian berpaling kepada Nikolai Krushchev pemimpin Uni Soviet, setelah dengan jelas mengetahui sikap Washington. Perlengkapan militer canggih senilai satu milyar dollar Amerika, termasuk kapal selam, segera mengalir ke Jakarta dari Moskow. ...Kennedy rupanya khawatir masalah Irian Barat dapat berbuntutnya pecah kembali konfrontasi langsung antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Daripada Indonesia sepenuhnya jatuh ke pangkuan Soviet, lebih baik Soekarno dijinakkan....Tekanan Amerika itu yang tampak membuat Belanda akhirnya mengalah, merelakan solusi Irian Barat diserahkan sepenuhnya kepada PBB." (Sumber: Media Indonesia, 30 November 2000, hal. 4).

Surat rahasia John F. Kennedy Presiden Amerikat menyiapkan bantuan yang diperlukan PBB pada saat rakyat Papua melaksanakan penentuan nasib sendiri. Dalam keadaan seperti ini serta didorong oleh tanggungjawab kami untuk kebebasan dunia (non komunis), saya mendesak dengan sangat, agar pemerintah Belanda menerima rumusan yang telah disampaikan kepada wakil Anda oleh Tuan Bunker" (dikutip dari Surat John F.Kennedy, Secret, April 2, 1962). 

Dalam surat yang sama John F. Kennedy menegaskan kepada Dr. J.E. de Quay:

"Kami tentunya akan menekan Pemerintah Indonesia sekuatnya, agar menyetujui pembicaraan-pembicaraan lanjutan atas dasar rumusan tersebut di atas." 

3. Kepentingan Amerika Serikat untuk menguasai emas di Papua.

Kepentingan ekonomi Amerika Serikat terbukti kontrak karya Freeport selama 30 tahun yang ditandatangani pada 7 April 1967, antara Indonesia dengan Freeport (Amerika Serikat) setelah Soeharto dilantik pada 12 Maret 1967 sebagai pejabat presiden. Ambisi Amerika Serikat untuk merampok dan menguasai tambang emas di Namangkawi-Ndugu-Ndugu, Mimika (Tembapura) terbukti, hanya 42 hari setelah Suharto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, kontrak karya dibuat. 

Tanggal 7 April 1967 bertolak belakang dengan pelaksanaan Pelaksanaan Pepera pada 14 Juli-2 Agustus 1969. Artinya, sebelum Papua Barat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata, kontrak tambang emas dilakukan dua bangsa kolonial dan perampok, yaitu Amerika Serikat dan Indonesia.

Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42). 

4. Perjanjian New York 15 Agustus 1962 berlatar belakang RASISME.

Dr. Jim Elmslie mengutip pernyataan John (Jonathan) Rumbiak, "Bertahun-tahun sebelumnya, John Rumbiak, aktivis HAM terkemuka Papua, mengatakan pada saya bahwa jantung persoalan Papua Barat adalah rasialisme. Tak hanya rasialisme Indonesia, namun juga rasialisme negara-negara Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengijinkan Penentuan Pendapat Rakyat atau Act of Free Choice pada 1969 dengan hanya 1.025 orang." (Sumber: Filep Karma: Seakan Kitorang Setengah Binatang, 2014:hal.x

Penulis mengutip karya Made Supriatma sebagai berikut:

"Karena proses yang penuh dengan kecurangan dan tipu-daya ini, tidak terlalu mengherankan bila persoalan Papua tidak akan pernah selesai. Ia berbiak. Generasi yang lebih baru tidak akan pernah lupa apa yang dialami oleh orang tua mereka di zaman operasi militer yang dilakukan oleh Orde Baru. Pembunuhan-pembunuhan dan kekerasan itu memang bisa ditutupi dari sebagian besar rakyat Indonesia. Namun tidak bisa hilang dari ingatan orang Papua."

"Bangsa Papua adalah bangsa paling malang di dunia ini. Terlalu sering mereka dianggap sebagai bangsa ‘primitif’. Mereka dianggap tidak cakap mengurus diri sendiri. Mereka tidak pernah diajak bicara mengenai nasib mereka sendiri. Semuanya ditentukan oleh pihak luar."

"New York Agreement pada 1962 ditentukan oleh Indonesia, Amerika, dan Belanda. Pepera 1969 hanya diikuti 1025 orang (tidak semuanya orang Papua asli) dengan manipulasi, intimidasi, dan ancaman senjata."

"Imajinasi orang Indonesia terhadap Papua pun mewarisi imajinasi Yamin dan Sukarno yang imperialistik itu. Imajinasinya adalah imajinasi wilayah, bukan imajinasi tentang rasa persaudaraan sesama bangsa."

"Orang Indonesia selalu merasa bahwa kekayaan alam mereka di Papua dirampas oleh pihak asing. Orang Indonesia mau kekayaannya. Tetapi tidak mau dengan manusianya. Orang Indonesia tidak pernah peduli pada nasib orang Papua."

"Ketika orang Papua menyatakan keinginannya menentukan nasib sendiri, selalu saja muncul argumen: jika Papua merdeka, kekayaan mereka akan diambil Amerika, Australia atau orang-orang asing. Argumen seperti ini muncul karena perasaan yang mengklaim diri lebih superior. Orang Papua tidak mampu mengelola dirinya sendiri."

"Memang, orang Indonesia merasa bahwa kebudayaan mereka jauh lebih superior dari orang Papua. Tidak terlalu sulit untuk mendapati hal ini dalam hidup sehari-hari. Di beberapa daerah di Indonesia dijumpai larangan untuk menerima kos orang Papua karena mereka dianggap sebagai pemabuk dan pembuat onar. Orang Indonesia tidak apa-apa kalau mabuk. Tetapi orang Papua? Tidak boleh. Pandangan merendahkan ini berlangsung di semua lini."

"Kini, ketika pemerintah Indonesia menggembar-gemborkan pembangunan infrastruktur di Papua. Itu semua untuk konsumsi publik di Indonesia. Tidak pernah terdengar suara langsung dari Papua. Tanyakanlah kepada orang Papua, mengapa Anda tidak berterima kasih untuk semua infrastruktur yang Anda dapat? Jawabnya seringkali, “Itu untuk kitong kapa? Itu dong pu jalan to?”

"Kalau ada konstruksi teoritik yang bisa dipakai untuk memahami masalah Papua, saya akan mengatakan bahwa inilah satu kasus dari “Kolonialisme Primitif” yang sudah amat jarang dijumpai di dunia ini. Kolonialisme jenis ini adalah kolonialisme penjarahan."

"Tujuan hadirnya aparat kolonial di sana adalah untuk melakukan penjarahan. Dan, semua yang dibangun di sana pun untuk tujuan memudahkan penjarahan. Aparat-aparat kolonial —seperti pada waktu masa kolonial Belanda—membutuhkan kerjasama dari para komprador, orang-orang Papua yang mau bekerjasama. Seperti di zaman kolonialisme Belanda, tugas aparat Indonesia adalah mengawasi para komprador ini."

"Ironisnya, di tengah-tengah konstruksi primitif yang diterapkan terhadap orang Papua, justru yang sangat primitif adalah kolonialisme di Papua." (Sumber: Geotimes.co.id, 2 Desember 2018). 

Pdt. Dr. Phil Karel Erari menyatakan: “Rakyat Papua merasa bahwa Pepera adalah rekayasa Pemerintah RI, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, di mana rakyat Papua tidak dilibatkan sebagai subyek hukum internasional dan pelaksanaannya tidak dilakukan secara demokratis sesuai dengan kebiasaan dan praktik yang berlaku dalam masyarakat internasional”(hal. 23).

Erari menambahkan, “Sejarah Integrasi Papua dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan”.  Karel Phil Erari dengan tegas mengatakan, “Secara hukum, integrasi Papua dalam NKRI bermasalah” (2006: hal.182)


Perjanjian New York 15 Agustus 1962 terdiri dari 29 Pasal yang terdiri dari tiga bagian penting.


Pertama, Transfer Administrasi dari Belanda kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disebut UNTEA (United Nations Temporary Executive Administration) yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3 sampai Pasal 11. 


Kedua, Transfer Administrasi dari PBB ( UNTEA) kepada Indonesia yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 13.


Ketiga, Penentuan Nasib Sendiri ( Self Determination) orang asli Papua yang diatur dalam 9 Pasal dari Pasal 14 sampai dengan Pasal 22. 


Tujuan utama New York Agreement (NYA) 15 Agustus 1962 ialah penyelesaian persengketaan antara Indonesia dan Belanda atas status politik bangsa West Papua dan diberikan kesempatan kepada orang asli Papua untuk penentuan nasib sendiri di atas Tanah dan Negeri leluhur mereka atas pengawasan PBB.


Tetapi, setelah penulis menyelidiki dan mengkritisi dengan saksama NYA yang terdiri dari 29 Pasal tersebut, ternyata NYA dibuat untuk kepentingan penyerahan pemerintahan dari Belanda kepada Indonesia bukan untuk kepentingan penentuan nasib sendiri OAP. Jadi, luka yang sudah membusuk di dalam tubuh bangsa Indonesia dimulai dalam New York Agreement. 


1. Mengapa NYA Pasal 2 ditetapkan penyerahan wilayah Papua dari Belanda kepada UNTEA (PBB) dan selanjutnya dari UNTEA menyerahkan kepada Indonesia?


Pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda menyerahkan Papua kepada UNTEA. Selanjutnya, pada 1 Mei 1963 UNTEA serahkan Papua kepada Indonesia hanya berselang 6 bulan. Yang sebenarnya ialah UNTEA harus berada di Papua selama 6 tahun dalam mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri OAP pada 1969.


2. Mengapa NYA Pasal 7 dan 13 disetujui menggunakan kekuatan militer Indonesia di Papua sebelum OAP memilih menjadi bagian sah wilayah Indonesia melalui Pepera 1969? 


Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42). 


Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando: "Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka." (2009:hal.169).


Ini kesalahan fatal dalam NYA 15 Agustus 1962 yang dilakukan Belanda dan Indonesia serta Amerika Serikat, yaitu Papua diserahkan kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Seharusnya, keamanan dari UNTEA yang mengawasi wilayah Papua selama 6 tahun sejak 1963 sampai pelaksanaan Pepera 1969. 


3. Berapa kali UNTEA (PBB) mensosialisasikan kepada OAP sesuai dengan NYA Pasal 10 tentang penyerahan pemerintahan dari UNTEA kepada Indonesia?


Ada tiga alasan. Pertama, PBB telah terlibat dalam konspirasi politik untuk mengabaikan hak penentuan nasib sendiri Orang Asli Papua dalam NYA. UNTEA mempunyai waktu sangat terbatas, anggota UNTEA dikurangi oleh Indonesia, dan jangkauan wilayah geografis yang sangat luas dengan anggota UNTEA sangat terbatas. Ketiga, pemerintah Indonesia benar-benar dan serius menghalang-halangi pekerjaan UNTEA di Papua Barat. 


4. Mengapa Perjanjian Pasal 12 ditetapkan PBB/UNTEA akan menyerahkan semua atau sebagian bahkan disebut penyerahan kembali pemerintah penuh di Papua kepada Indonesia? 


Ini belawanan karena Orang Asli Papua (OAP) belum menyatakan pilihan untuk bergabung dengan Indonesia sesuai dengan NYA Pasal 18 butir d "penentuan nasib sendiri orang-orang Papua sesuai praktek internasional", tetapi UNTEA menggabungkan wilayah Papua ke dalam wilayah Indonesia sebelum Pepera 1969.


5. Mengapa Pernjanjian Pasal 14 disetujui untuk dilaksanakan Undang-undang dan peraturan-peraturan Indonesia di Papua sebelum Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia melalui Pepera 1969?


PBB, Amerika Serikat dan Belanda bersama-sama dengan Indonesia memasukkan Papua ke dalam wilayah Indonesia sebelum Pepera 1969 adalah kesalahan fatal, karena orang Asli Papua tidak pernah terlibat dalam penyerahan proses pembuatan NYA.


6. Apakah pemerintah Indonesia sungguh-sungguh melaksanakan Perjanjian Pasal 15 tentang Pendidikan dan Pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi di Papua melalui Dana United Nations for the Development of West Irian (FUNDWI) sebesar 30 milyar dollar (US$30 million) yang disumbangkan Belanda sebagai tanda Perpisahan dengan rakyat Papua? 


Jose Rolz-Bennet, Sekretaris Jenderal PBB pada 1967 datang ke Jakata dan berkunjung ke West Irian untuk melihat pembangunan dan persiapan penentuan nasib sendiri orang asli Papua menyatakan pemerintah Indonesia menghalangi pembangunan, penggunaan uang yang melenceng dan korupsi meluas dalam pemerintah yang dikuasai militer. (Sumber: See No Evil, Maire Leadbeater, 2018: hal. 140).


Dalam laporan bulanan Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Juli 2020 yang berjudul: "OTSUS PEMBAMGUNAN INDONESIA UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT PAPUA SUDAH MATI", diuraikan perilaku penguasa Indonesia. 


"Begitu mendapat tempat di Papua setelah UNTEA tanggal 1 Mei 1963, para elit yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal dan semua tulisan tentang Sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan, semua dibakar di depan orang banyak di halaman Kantor DPRP sekarang di Jayapura" (Lihat, Acub Zainal dalam memoarnya: I Love the Army).


Contoh, "pada bulan April 1963, Adolof Henesby Kepala Sekolah salah satu Sekolah Kristen di Jayapura ditangkap oleh pasukan tentara Indonesia. Sekolahnya digebrek dan cari simbol-simbol nasional Papua, bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu, sesuatu yang berhubungan dengan budaya orang-orang Papua diambil. Adolof Henesby dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa dia masih memelihara dan menimpan lambang-lambang Papua" (TAPOL, Buletin No.53, September 1982). 


Pembakaran besar-besaran tentang semua buku-buku teks dari sekolah, sejarah dan semua simbol-simbol nasionalisme Papua di Taman Imbi yang dilakukan ABRI (sekarang:TNI) dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Mrs.Rusilah Sardjono. 


Dengan tepat Dr. Adnan Buyung Nasution, SH pernah mengatakan: "Tinggal soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal." (Sumber: Detiknews, Rabu, 16 Desember 2011).


Lebih parah lagi janji omong kosong dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Amir Machmud di Merauke pada pelaksanaan Pepera 14 Juli 1969, sebagai berikut: 


"...Pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia." (Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting ot the UN Assembly, agenda item 98,19 November 1969, paragraph 18, page 2). 


Kalau memang Pemerintah RI berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan, tetapi mengapa ada penderitaan panjang, ada tetesan darah dan cucuran airmata di Tanah ini? 


Dimana pasukan Kopassus culik, tembak dan sembunyikan Oristoteles Masoka sopirnya Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001? 


Kapan pemerintah Indonesia selesaikan tewasnya 4 siswa di Paniai pada 8 Desember 2014 yang pelakunya anggota TNI? 


Mengapa masih ada operasi militer di Nduga sejak 2018 sampai saat ini atas perintah presiden Republik Indonesia? 


Operasi militer Indonesia di Nduga-Papua adalah perintah Negara. Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo memberikan perintah untuk TNI melaksanakan operasi. 


"Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar” (Sumber: DetikNews/5/12/2028).


7. Mengapa Perjanjian Pasal 16 ditetapkan keberadaan dan tugas PBB di Papua Barat harus mendapat pertimbangan dari Indonesia?


Sudah jelas konspirasi awal New York Agreement 15/8/1962 disepakati oleh para kolonial Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia sama-sama setuju UNTEA serahkan Papua ke dalam Indonesia pada 1 Mei 1963. Ini hanya sandiwara Amerika demi kepentingan tambang di Mimika, Tembagapura, PT Freeport.


Pastor Frans Lieshout OFM, menggambarkan kekejaman militer Indonesia. 


"Saya tiba di Hollandia. Netherlands Nieuw Guinea pada 18 April 1963. Saya datang ketika Papua masih termasuk Kerajaan Belanda dan bernama Nenderlands Nieuw Guinea. Tetapi dua minggu kemudian diambilalih oleh Indonesia, pada 1 Mei 1961."


"Saya melihat orang Papua semakin terdesak. Tanggal 1 Mei 1962 ada sebuah kapal angkatan laut yang besar, yang dilengkapi dengan bendera Indonesia Nieuw Guinea, mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus itu merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka dipungut dari pinggir jalan."


"Mungkin benar-benar demikian saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta."


"Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda dibakar. Sebenarnya Nederlands masih ingin memegang Nieuw Guinea beberapa lama."


"Jutaan gulden telah dikeluarkan. Pemerintah Belanda untuk membuat sisa Hindia Belanda yang terakhir ini menjadi jajahan percontohan."


Ibu kota Hollandia mempunyai toko-toko yang terbaik, sekolah-sekolah terbaik, dan rumah-rumah sakit yang terbaik. Dengan cara mantap yang sama Belanda bermaksud mengantar tahan jajahan ini menuju kemerdekaan. Bahkan telah mendidik sejumlah orang Papua untuk mengambilalih pemerintahan, tetapi sayangnya, Papua tidak bernasib untuk."


"Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan khususnya Amerika Serikat, telah memaksa Nederlands melepaskan kolonialnya, karena mereka tidak mau bertengkar dengan Indonesia. Zaman itu zaman Perang Dingin, dan negara muda ini jangan sampai bergabung dengan blok komunis." 


"...Wajah Indonesia dari semula wajah kuasa sebuah militer." (Sumber: Suara Perempuan Papua:hal. 11, Tahun 16 Nomor 03 Edisi 18 Mei-18 Juni 2020). 


8. Mengapa Perjanjian Pasal 17 ditetapkan pelaksanaan Pepera 1969 adalah tanggungjawab Indonesia? 


Ini konspirasi global demi kepentingan ekonomi di Papua. Amerika Serikat berambisi untuk menguasai tambang di Mimika. Perjanjian New York sebenarnya hanya penipuan Amerika, Belanda dan Indonesia. Buktinya, sejak Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, Amerika Serikat tempatkan TNI-Polri di Tanah sebagai penjaga dan pelindung tambang di Tembagapura. 


Pemilik tanah dan tambang dibantai seperti hewan dan binatang oleh TNI-Polri. Pendidikan dan kesehatan dihancurkan. Tanah dan hutan sebagai sumber kehidupan dirampok dan dihancurkan. 


Titus Natkime anak dari Tuarek Natkime pernah sampaikan kepada saya beberapa tahun lalu kisah ini. Tuarek Natkime adalah pemilik emas di Ndugu-Ndugu=Namangkawi-Mimika (Tembagapura).


Tuarek Natkime ada pertemuan khusus dengan Suharto dan Moffett di Jakarta.


Suharto adalah presiden Indonesia. Dan Moffett pemilik PT Freeport.


Suharto sampaikan kepada Tuarek Natkime. "Pak Tuarek, saya akan kirim pasukan TNI untuk jaga keamanan tambang emas."


Moffett sampaikan kepada Tuarek: "Saya akan bawa dollar dan bawa Tuarek terbang ke Amerika."


Tuarek Natkime jawab kepada mereka.

"Pak Suharto membawa pasukan TNI untuk membantai/membunuh kami sebagai pemilik emas. Kamu membuat kami tidak berdaya. Kamu ambil emas kami. Kami hanya nonton para pencuri mencuri emas kami."


"Pak Moffett membawa dollar untuk membayar pasukan TNI untuk membunuh dan menghilangkan kami dari tanah kami."


"Pak Suharto dan pak Moffett sama-sama penjahat, pencuri, perampok dan pembunuh."


"Saya punya tanah. Saya punya kekayaan emas. Tetapi, saya akan mati dalam keadaan miskin. Saya sudah tua. Saya akan mati duluan. Saya pergi duluan ke sorga dan saya tunggu pak Suharto dan pak Moffett di sorga."


"Saya, pak Suharto, dan pak Moffett, kami bertiga dengar keputusan TUHAN Allah. Siapa yang kayak memiliki hidup kekal di sorga bersama Allah. Dan siapa yang akan memiliki kematian kekal bersama Iblis di Neraka. Pertemuan hari ini, pertemuan kita bertiga yang terakhir di dunia ini. Saya akan munggu kamu berdua di sorga."


8. Mengapa Perjanjian Pasal 18 butir (d) yang berbunyi, "Terpenuhinya persyaratan semua orang dewasa, pria dan wanita, bukan warga negara asing, untuk ikut serta dalam penentuan nasib sendiri, yang dilaksanakan sesuai dengan praktek internasional..." atau " one man one vote" tidak dilaksanakan? 


Ada dua alasan. 


Pertama, Indonesia takut Pepera 1969 dimenangkan oleh OAP. Ketakutan itu diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando: "Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka." (2009:hal.169).


Kedua, berdasarkan Perjanjian Italia, Roma tanggal 20-21 Mei 1969 antara Menteri Luar Negeri Belanda J.M.A.Luns, Menteri Bantuan Pembangunan Belanda B.J. Undink, dam Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik. Bunyi kesepakatan: 


"Menteri Luar Negeri Indonesia menyatakan kembali posisi Pemerimtah Indonesia mengenai Kebebasan Memilih yakni bahwa mengingat pertimbangan-pertimbangan praktis dan teknis maka istilah sistim Indonesia "Musyawarah" merupakan cara yang terbaik...".


Pelaksanaan Sistem "Musyawarah" Indonesia di pakai ABRI dan memilih hanya 1.025 orang dari jumlah penduduk 809.337 orang. Maka jumlah penduduk lebih dari 808.312 belum atsu tidak pernah terlibat dalam Pepera 1969. 


Jadi, legitimasi rakyat Papua dalam wilayah Indonesia sangat lemah. Karena jumlah terbesar 808.312 tidak pernah mengambil bagian dalam proses pelaksanaan Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI waktu itu.


Salah satu contoh Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969.


Dikatakan,   “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun  yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR”.


Berhubungan dengan pelaksanaan Pepera 1969 yang manipulatif dan penuh pembohongan itu, Dr. Fenando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang mengawasi pelaksanaan Pepera 1969 melaporkan sebagai berikut.


“Saya harus menyatakan pada permulaan laporan ini, ketika saya tiba di Irian Barat pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah-masalah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI. Lebih dulu ahli-ahli PBB yang ada tinggal di Irian Barat pada saat peralihan tanggungjawab administrasi secara penuh kepada Indonesia ditiadakan, mereka tidak mengenal keadaan secara baik, mempersingkat tugas-tugas mereka.


Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati dan membantu dalam persiapan untuk mengadakan ketentuan-ketentuan Penentuan Nasib Sendiri tidak didukung selama masa 1 Mei 1963-23 Agustus 1968. Atas kehadiran saya di Irian Barat, untuk tujuan misi saya, saya telah memulai dengan mengumpulkan, mencoba untuk memenuhi dalam beberapa bulan dengan staf yang terbatas tidak seimbang dengan wilayah yang luas, fungsi-fungsi penting dan kompleks di bawah Perjanjian New York XVI hendaknya dilaksanakan selama 5 (lima) tahun dengan sejumlah ahli” (Sumber resmi: UN Doc. Annex I A/7723, paragraph 23, p.4)


Hasil Pepera 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat "take note" karena  perlawanan sengit dari beberapa negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana.   Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York,  Amerika Serikat, terbukti: “ …156  dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969,  dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah  netral” (Sumber resmi:  Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5).


9. Mengapa Perjanjian Pasal 22 tentang "jaminan keamanan dan kebebasan dari penduduk pribumi Papua untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri" tidak dirasakan oleh OAP?


Dalam proses persiapan, pelaksanaan Pepera 1969, ABRI menjadi pelenggara atau pelaksana Pepera 1969. Banyak orang asli Papua ditangkap, disiksa, dipenjarakan dan ditembak mati bagi mereka yang berjuang untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri "one man one vote."


Terbukti dengan laporan Hugh Lunn, wartawan Australia, menyatakan,  “Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja “sendiri, sendiri”. Untuk menangani ini tentara orang-orang Indonesia menangkap dan melemparkan mereka dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak mobil. Hugh Lunn, wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh orang Indonesia sementara di mengambil foto demonstrasi orang Papua” (Dr. John Saltford: Irian Jaya: United Nations Involment With The Act of Self-Determination In West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968-1969 mengutip laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, August 21, 1999).


Konspirasi internasional melahirkan 4 akar persoalan Papua dan pemerintah Indonesia harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan luka membusuk seperti api yang membara di dalam tubuh bangsa Indonesia. 


Kita harus akui dengan jujur, bahwa pendudukan dan kolonialisme Indonesia di West Papua merupakan kejahatan politik, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan ketidakadilan serta kejahatan ekonomi, karena itu, Pendudukan dan Penjajahan Indonesia di West Papua ialah Ilegal. Tidak ada legitimasi rakyat dan bangsa West Papua. Yang ada adalah legitimasi kekerasan, kejahatan, kekejaman, kelaliman militer dengan moncong senjata 


Menurut LIPI ada 4 akar persoalan Papua. Dewan Gereja Papua (WPCC) melihat ada akar masalah yang perlu dilihat sebagai jantungnya persoalan Papua, yaitu RASISME dan KETIDAKADILAN yang melahirkan 4 akar masalah yang dirumuskan LIPI. Jadi, sesungguhnya ada 5 akar persoalan Papua. 


1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;


(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 


(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; 


(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.


(5) Rasisme dan Ketidakadilan sebagai sumber dari akar masalah butir 1-4. 


Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia  yang tampaknya penuh rekayasa dan kepalsuan  yang sudah membusuk ini, jalan penyelesaian yang berprospek damai,  bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua dengan pemerintah Indonesia, yaitu:


Pemerintah RI-ULMWP duduk setara dan berunding tanpa syarat dimediasi pihak ketiga yang netral. 



Ita Wakhu Purom, Sabtu, 8 Agustus 2020


Penulis: 

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 

2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).

3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

__________

Rakyat papua barat tuntut kemerdekaan

1,8 Juta Rakyat Papua Barat Teken Petisi Tuntut Kemerdekaan Mahasiswa Papua menggelar aksi di Surabaya, Jawa Timur, 2 Desember 2013....