Dukungan Internasional untuk Papua Merdeka
David Tua (kiri) dan and Wakil Presiden Serikat
Buruh Pasifik, Jerome Mika (kanan) mengikuti demonstrasi di depan gedung
parlemen Selandia Baru untuk mendukung kemerdekaan Papua. FOTO/RNZI/Johnny
Blades.
Oleh: Akhmad Muawal Hasan - 23 Agustus 2017
Dibaca
Normal 3 menit
Dukungan
untuk kemerdekaan Papua mengalir dari negara-negara tetangga di kepulauan
Pasifik hingga tokoh politik penting di Inggris Raya.
Dukungan Internasional untuk Papua MerdekaaDukungan Internasional untuk Papua MerdekaDukungan Internasional untuk Papua Merdeka -
Keempat belas perempuan itu bernama Marama Davidson, Ruiha Epiha, Talafungani
Finau, Lelani Kake, Moe Laga-Fa’aofo, Genevieve Pini, Amiria Puia-Taylor,
Leilani Salesa, Luisa Tora, Mele Uhamaka, Asenaca Uluiviti, Leilani Unasa,
Julie Wharewera-Mika, dan Elyssia Wilson-Heti.
Mereka adalah anggota suku asli Maori yang menghuni wilayah Selandia Baru. Pada
Sabtu (8/8/2014) mereka turut menyemarakkan Festival Pasifika di Western
Springs Lakeside Park, Auckland, dengan menampilkan sebuah performance art bermodal cat hitam yang
dipakai untuk mewarnai tubuh, tali untuk mengikat tangan, dan bendera Bintang
Kejora kecil untuk menutup mulut. Sepanjang penampilan gerakan tubuh keempat
belas perempuan itu amatlah minim.
Kepada Tabloid Jubi Marima
Davidson menjelaskan bahwa penampilan tersebut berjudul “Oceania Interrupted
Action 3: Free Pasifika – Free West Papua”. Mereka mendukung kemerdekaan bagi
rakyat Papua dan setiap detail dalam pertunjukan mereka adalah simbol atas apa
yang sedang terjadi pada saudara-saudara sesama sub-ras Melanesia di Papua.
Baca juga: Semua Membela Tanah Papua
Mulut yang terbungkam, tangan yang terikat dan gerak tubuh yang sedikit adalah
simbol minimnya kebebasan untuk mengungkap pendapat politik, ditutupnya
kesempatan untuk mengkampanyekan penentuan nasib sendiri, minimnya akses
terhadap sumber daya alam yang merata, dan kurangnya akses terhadap media yang
bebas serta independen dalam memberitakan apa yang sebenarnya terjadi di tanah
Papua.
Tubuh yang dicat hitam, bagi perempuan, adalah simbol berkabung. Penampil lain,
Julie Wharewera-Mika, berkata bahwa “Kebebasan kita sebagai perempuan Maori dan
Pasifik asli di Aotearoa, Selandia Baru terikat erat dengan kebebasan saudara
dan saudari kami di Papua.”
Sejarah dan Korban Kolonialisasi Modern
Secara geografis, Papua yang berada di samping Papua Nugini
sesungguhnya telah dipecah menjadi dua provinsi: Papua dan Papua Barat.
Orang-orang Melanesia dengan kemiripan kultural dan etnis yang menghuni Papua
juga tersebar di berbagai kepulauan di Pasifik. Hingga hari ini situasi politik
di Papua masih bergejolak atas narasi "kolonialisasi modern" yang
dituduhkan masih dilakukan Republik Indonesia atas Papua.
Setelah Perang Dunia II, Belanda yang masih punya kontrol atas Papua mulai
melakukan persiapan untuk memerdekakannya, sementara pemerintah Indonesia yang
telah merdeka di bawah kepemimpinan Sukarno juga mengklaim wilayah tersebut dan
berupaya memasukkannya ke dalam teritori Indonesia.
Pada tahun 1961 orang Papua mengangkat bendera Bintang Kejora, menyanyikan lagu
kebangsaan mereka, dan mengumumkan kemerdekaan. Tak lama setelahnya, Indonesia
yang mendapat sokongan senjata dari Uni Soviet melakukan operasi militer.
Takut akan penyebaran komunisme dan terganggunya kepentingan perusahaan tambang
di Papua, Amerika Serikat melakukan intervensi melalui Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB). PBB mengajukan Perjanjian New York, memberikan kontrol sementara atas
Papua kepada Indonesia (di bawah pengawasan PBB) pada tahun 1963 hingga
dilaksanakan referendum.
Dalam catatan jurnalis Gemima Harvey yang dimuat di The Diplomat,
beberapa tahun setelah referendum, kurang lebih 30.000 rakyat Papua dibunuh
oleh militer Indonesia. Ada misi pembungkaman yang brutal atas cita-cita
kemerdekaan di sana. Saat referendum dilaksanakan pada 1969 pun terdapat
kecurangan, sebab hanya satu persen dari total populasi yang bisa urun suara.
Hasilnya dapat diduga: Papua resmi masuk teritori Indonesia.
Setengah abad setelahnya muncul berbagai dinamika politik di tanah Papua. Satu
hal yang pasti, praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan
pasukan keamanan Indonesia kepada rakyat Papua tetap langgeng. Dua tahun
kemarin, Papua tercatat wilayah yang paling disesaki tentara dengan jumlah sekitar
45.000 personel dan beberapa ratus lain di perbatasan Papua Nugini.
Dalam catatan Human Right Watch,
hingga hari ini ada lebih dari 500.000 warga Papua yang telah direnggut
nyawanya secara sistematis, dan ribuan lain mengalami diskriminasi rasial,
penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemenjaraan, dan pemerkosaan.
Tuntutan penentuan nasib sendiri semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa
kekayaan alam Papua dikeruk bukan untuk keuntungan rakyat Papua, tapi bagi korporat
asing yang kontraknya disetujui Jakarta.
Add caption |
Dukungan Internasional dari Inggris hingga Pasifik
Akhir Mei lalu dukungan lain untuk kemerdekaan Papua juga datang, masih dari
Selandia Baru, namun kali ini berasal dari sebelas anggota parlemen yang
terdiri dari empat partai politik, yakni Partai Hijau (Catherine Delahunty,
Barry Coates, Mojo Mathers, Jan Logie dan Steffan Browning), Partai Buruh
(Louisa Wall, Carmel Sepuloni, Adrian Rurawhe, dan Aupito S’ua William Sio),
Partai Nasional (Chester Burrows), dan Partai Maori (Marama Fox).
Kesebelas perwakilan tersebut menandatangani Deklarasi Westminster yang dibawa
oleh pemimpin dan pelobi internasional untuk kemerdekaan Papua, Benny Wenda. Masa
kecil Benny—putra asli Papua—yang tenang di Lembah Baliem diusik tentara
Indonesia sejak akhir 1970-an. Kakinya bahkan dikabarkan hilang satu dalam
sebuah serangan udara.
Benny telah berjuang untuk kemerdekaan tanah kelahirannya sejak Orde Baru
berkuasa. Sebagaimana rekam jejak pejuang kemerdekaan Papua Barat lain, ia
pernah dipenjara, tepatnya pada tahun Juni 2002 di Jayapura atas tuduhan yang
sumir. Usai melewati persidangan yang cacat hukum, tiga bulan kemudian ia
berhasil kabur berkat bantuan seorang kawan. Ia kemudian mendapat suaka politik
dari Inggris dan sejak itu meneruskan perjuangan dari Eropa.
Catherine Delahunty, perwakilan Partai Hijau yang selama karier politiknya
konsisten mendukung perjuangan Benny Wenda, menyatakan pada Asia Pacific Report bahwa
pertemuan dengan Anggota Parlemen Internasional untuk Papua (IPWP) itu termasuk
“menakjubkan”.
“Ini momen yang sangat kuat. Benny mengatakan bahwa sangat penting baginya
untuk bepergian ke dunia sehingga dia benar-benar dapat bertemu dengan para
politisi dan bahwa sebenarnya para politisi, yang berasal dari berbagai macam
partai, mau untuk menandatangani deklarasi tersebut,” katanya.
Deklarasi Westminster untuk mendukung
penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua lahir dalam pertemuan IPWP dengan
delegasi dari berbagai negara di House of Parliament London, Inggris
(3/5/2016). Turut hadir salah satu pendiri IPWP dan pemimpin oposisi Partai
Buruh yang digadang-gadang sebagai calon kuat perdana menteri Inggris, Jeremy
Corbyn.
“Intinya, yang kami lihat adalah sekelompok orang yang tidak menikmati hak
mereka selama periode dekolonialisasi, tidak menikmati hak yang diberikan
kepadanya berdasarkan piagam PBB dan berbagai statuta dekolonialisasi. Sebagai
anggota parlemen saya mendukung mereka (rakyat Papua), juga sebagai anggota
dari kelompok ini dan sebagai mantan wakil ketua HAM semua partai,” ujar Corbyn
sebagaimana dikutip The Guardian, Jum'at (6/5/2016).
Yang tak boleh dilupakan, perjuangan kemanusiaan dan kemerdekaan Papua juga
didukung oleh negara-negara di kepulauan Pasifik sebagai tetangga terdekat.
Perdana Menteri Vunuatu Charlot Salwai, misalnya, selalu konsisten
bersikap untuk mendukung penghentian praktik pelanggaran HAM dan kemerdekaan
orang-orang Melanesia di Papua (22/12/2016).
Sementara itu, atas nama tujuh negara Pasifik (Vanuatu, Tonga, Palau, Tuvalu,
Kepualauan Marshall, Nauru dan Kepulauan Solomon), Menteri Kehakiman Vanuatu
Ronald Warsal pada awal Mei lalu melancarkan tuduhannya pada pemerintah
Indonesia yang dinilai telah melakukan pelanggaran HAM serius terhadap orang
asli Papua di sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss (2/3/2017).
Sebagaimana dilaporkan SBS,
selama 15 tahun terakhir Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia telah mengumpulkan
bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh pasukan keamanan Indonesia di tiga
wilayah utama di Papua, yakni Wasior, Wamena, dan Paniai. Selain meminta Dewan
HAM PBB untuk menghasilkan laporan aktual di Papua, Warsal juga harus membuat
rekomendasi agar pola pelanggaran HAM di Papua bisa berhenti sepenuhnya.
(tirto.id - Politik)
Reporter:
Akhmad Muawal Hasan
Penulis:
Akhmad Muawal Hasan
Editor:
Akhmad Muawal Hasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar